IKHTIAR MEWUJUDKAN KETAKWAAN (Khotbah Idul fitri 1442 H)
Oleh: Ust. Dede KS
Tidak terasa, rasanya baru kemarin kita merayakan Idul Fitri tahun 1441 H, dan hari ini di tahun yang berbeda, Allah SWT masih mengizinkan kepada kita, untuk kembali merasakan nikmatnya berjumpa dengan hari raya.
Rasulullah Saw. bersabda:
لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ: فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ، وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ
“Bagi orang yang shaum itu ada dua kebahagiaan: Kebahagiaan saat berbuka/ berhari raya, dan kebahagiaan saat nanti berjumpa dengan Tuhannya.” (HR. Muslim)
Oleh karena itu, hendaklah kita mensyukuri kenikmatan ini dengan sungguh-sungguh, dan menyikapinya dengan sikap yang benar. Tidak salah langkah dan tidak salah kaprah.
Banyak orang yang merasa bebas dan merdeka untuk kembali melakukan dosa. Padahal sesungguhnya hari ini dan juga hari-hari berikutnya adalah momentum bagi kita untuk mewujudkan ketakwaan. Karena sesungguhnya itulah tujuan dari syariat puasa, agar kita menjadi orang-orang yang bertakwa.
Ada beberapa ikhtiar dalam upaya mewujudkan ketakwaan.
- Muhasabah (Introspeksi diri)
Di dunia ini kita hanya menjalani peran dalam sebuah cerita yang pendek untuk sebuah perjalanan yang sangat panjang. Setiap hari umur kita terus berkurang. Dari tahun kemarin umur kita sudah berkurang satu tahun, dan besok berkurang lagi satu hari. Demikian seterusnya sampai habis jatah usia kita. Maka betapa ruginya jika kita tidak memanfaatkan waktu yang singkat ini untuk keselamatan kita di kehidupan akhirat yang abadi.
Kita mesti rajin mengintrospeksi diri, sejak kita menjadi orang yang baligh, yang dikenai dengan syariat agama, dalam arti kita sebagai mukalaf, apa yang paling banyak kita perbuat? Apakah perbuatan yang akan menuntun kita ke syurga atau justru perbuatan yang akan mengantarkan kita kepada siksa neraka?
Di dalam Al-Qur’an Allah Swt berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَلۡتَنظُرۡ نَفۡسٞ مَّا قَدَّمَتۡ لِغَدٖۖ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرُۢ بِمَا تَعۡمَلُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (yakni hari akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hasyr ayat 18)
Ayat ini dimulai dengan seruan “Yaa ayyuhalladziyna aamanu” (Wahai orang-orang yang beriman), sahabat Ibnu Mas’ud RA salah satu dari 10 sahabat Nabi yang ahli di bidang tafsir, beliau menjelaskan bahwa apabila suatu ayat dimulai dengan ungkapan tersebut maka hal itu menunjukan bahwa ayat itu mengandung perkara yang sangat penting atau mengandung larangan yang sangat tegas.
Perintah agar kita memperhatikan apa yang akan kita bawa untuk menghadapi negeri akhirat yang pasti adanya bagi kita adalah perkara yang sangat penting. Sebagai penyemangat dalam melakukan kebaikan dan sebagai penegur agar kita tidak terlena dalam perbuatan yang salah. Sebab kelak kita akan dihisab.
Sahabat Umar bin Khatab RA mengingatkan:
حاسبوا أنفسكم قبل أن تحاسبوا
“Hisablah diri kalian, sebelum nanti kalian dihisab.”
Setiap hari kita mesti menghisab diri. Kita evaluasi perjalanan hidup kita di dunia ini.
Pertama, kita evaluasi waktu. Umur kita habis untuk apa? Kelak di akhirat akan banyak orang yang menyesal karena tidak memanfaatkan jatah usianya ketika di dunia dan memohon kepada Allah agar diberi kesempatan yang kedua. Tetapi pada saat itu dunia tinggalah cerita.
Kedua, kita evaluasi kualitas ibadah. Sejauh mana kita mengamalkan ikhlas dalam beribadah? Jangan-jangan hari ini kita beribadah, kita shalat, kita bersedekah, tapi tidak menjadi bekal untuk keselamatan kita di akhirat, karena kita tidak ikhlas melaksanakannya.
Lalu kita juga evaluasi sejauhmana kesesuaian ibadah kita dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah?
Kita harus memiliki rasa khawatir bahwa Allah tidak menerima amal ibadah kita, supaya kita terus terdorong untuk meningkatkan kualitas ibadah.
Di dalam Al-Qur’an Allah Swt. berfirman:
وَٱلَّذِينَ يُؤۡتُونَ مَآ ءَاتَواْ وَّقُلُوبُهُمۡ وَجِلَةٌ أَنَّهُمۡ إِلَىٰ رَبِّهِمۡ رَٰجِعُونَ أُوْلَٰٓئِكَ يُسَٰرِعُونَ فِي ٱلۡخَيۡرَٰتِ وَهُمۡ لَهَا سَٰبِقُونَ
“Dan mereka yang memberikan apa yang mereka berikan (sedekah) dengan hati penuh rasa takut (karena mereka tahu) bahwa sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhannya. Mereka itu bersegera dalam kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang lebih dahulu memperolehnya.” (QS. Al-Mu’minun: 60-61)
Rasulullah Saw. menjelaskan bahwa mereka adalah orang-orang yang melaksanakan shaum, shalat, sedekah, dengan perasaan takut amalnya tidak diterima, itulah yang disebut dengan orang yang berlomba-lomba dalam kebaikan.
2. Muraqabah (Merasa diawasi)
Allah Swt. senantiasa membersamai hamba-hamba-Nya, sehingga kita tidak akan pernah bisa untuk bersembunyi dari-Nya.
Allah Swt. berfirman:
وَهُوَ مَعَكُمۡ أَيۡنَ مَا كُنتُمۡۚ وَٱللَّهُ بِمَا تَعۡمَلُونَ بَصِيرٞ
“Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hadid:4)
Allah Swt. tidak hanya menyaksikan dan mengetahui apa yang nampak dari perbuatan manusia, bahkan Dia mengetahui apa yang terbersit di dalam hatinya, Allah Swt. berfirman:
وَلَقَدۡ خَلَقۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ وَنَعۡلَمُ مَا تُوَسۡوِسُ بِهِۦ نَفۡسُهُۥۖ وَنَحۡنُ أَقۡرَبُ إِلَيۡهِ مِنۡ حَبۡلِ ٱلۡوَرِيدِ
“dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (QS. Qaaf: 16)
Jika keyakinan kita akan kehadiran Allah SWT. tertanam kuat di dalam dada, maka kita juga akan meyakini segala hal yang diberitakan Allah SWT., bahwa Allah SWT. melihat, mencatat, dan akan memberi balasan sesuai dengan apa yang kita kerjakan.
Ada sebuah kisah yang sudah sangat populer bagi kita, yaitu kisah seorang penggembala domba yang dibujuk oleh khalifah Umar untuk menjual 1 ekor domba milik majikannya. Di tengah gurun yang jauh dari hiruk pikuk kehidupan dan sangat masuk akal dihuni oleh hewan-hewan yang buas sangatlah mudah bagi si penggembala untuk menggelapkan domba milik majikannya. Tetapi apa yang dikatakannya ketika khalifah Umar merayunya supaya dia beralasan kepada tuannya bahwa salah satu gembalanya itu diterkam oleh serigala? si penggembala itu berkata, “Kalau begitu di manakah Allah?”.
Inilah contoh manusia yang merasakan kehadiran Allah SWT. dalam hidupnya. Dia tidak tergoda sedikitpun untuk mencari keuntungan dari harta yang bukan haknya, karena dia yakin bahwa Allah SWT. mengawasinya.
Seperti itu pulalah seharusnya sikap kita terhadap Allah SWT., selalu meyakini kehadiran Allah SWT., selalu merasa diawasi oleh-Nya, sehingga kita memiliki sikap taat kepada-Nya.
Semakin seseorang merasa diawasi oleh Allah SWT. maka semakin timbul rasa malu di dalam dirinya. Rasulullah Saw. bersabda:
الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنْ الْإِيمَانِ
“Iman itu memiliki lebih dari enam puluh cabang dan malu adalah bagian dari iman”. (Bukhari)
Dalam hadis yang lain Rasulullah Saw. bersabda:
إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلَامِ النُّبُوَّةِ إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ فَافْعَلْ مَا شِئْتَ
“Sesungguhnya yang didapatkan manusia dari perkataan para Nabi adalah; “Jika kamu tidak malu, maka berbuatlah sesukamu”. (Bukhari)
Tidaklah seseorang memiliki rasa malu kepada Allah SWT. kecuali karena dia merasakan kehadiran Allah SWT. Semakin seseorang tidak merasakan kehadiran Allah SWT. maka semakin jauh dia dari rasa malu, dan semakin seseorang tidak memiliki rasa malu maka semakin dekat dia dengan perbuatan maksiat.
3. Taqarub (Mendekatkan Diri)
Di dalam sebuah hadits qudsi Allah SWT. berfirman:
وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيهِ ، وَمَا يَزالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ ، فَإِذَا أحْبَبْتُهُ ، كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ ، وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ ، ويَدَهُ الَّتي يَبْطِشُ بِهَا ، وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا وَإنْ سَألَنِي أعْطَيْتُهُ ، وَلَئِن اسْتَعَاذَنِي لَأُعِيذَنَّهُ
“Tidaklah seorang hamba mendekat kepada-Ku; yang lebih aku cintai daripada apa-apa yang telah Aku fardhukan kepadanya. Hamba-Ku terus-menerus mendekat kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunnah hingga Aku pun mencintainya. Bila Aku telah mencintainya, maka Aku pun menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, menjadi penglihatannya yang ia pakai untuk melihat, menjadi tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan menjadi kakinya yang ia pakai untuk berjalan. Bila ia meminta kepada-Ku, Aku pun pasti memberinya. Dan bila ia meminta perlindungan kepada-Ku, Aku pun pasti akan melindunginya.” (HR. Bukhari)
Berdasarkan hadits ini, taqarub kepada Allah SWT. tidak hanya akan memperoleh pahala, akan tetapi juga mendapatkan bimbingan dan perlindungan dari segala perbuatan dosa. Sebab Allah mencintai orang-orang yang senantiasa mendekatkan diri kepada-Nya.
4. Isti’anah (Memohon Pertolongan)
Di dalam Al-Qur’an Allah SWT. berfirman:
ۚ وَلَوۡلَا فَضۡلُ ٱللَّهِ عَلَيۡكُمۡ وَرَحۡمَتُهُۥ مَا زَكَىٰ مِنكُم مِّنۡ أَحَدٍ أَبَدٗا
“Sekiranya bukan karena kurnia dan rahmat Allah kepada kamu sekalian, niscaya selama-lamanya tidak ada seorangpun dari kamu yang bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan munkar).” (QS. An-Nur: 21)
Dalam sebuah hadits riwayat Imam Muslim Rasulullah Saw. bersabda:
الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ، وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ، وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلَا تَعْجَزْ
“Mukmin yang kuat itu lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada mu’min yang lemah, dan pada keduanya ada kebaikan. Tamaklah terhadap hal yang bermanfaat bagimu, dan mintalah pertolongan Allah dan janganlah bersikap lemah.” (HR. Muslim)
Imam An-Nawawi ketika mengomentari hadits ini beliau berkata:
وَالْمُرَاد بِالْقُوَّةِ هُنَا عَزِيمَة النَّفْس وَالْقَرِيحَة فِي أُمُور الْآخِرَة… ( اِحْرِصْ )… وَمَعْنَاهُ اِحْرِصْ عَلَى طَاعَة اللَّه تَعَالَى
Yang dimaksud dengan ungkapan “kuat” dalam hadits ini adalah tekad jiwa dan keseriusan dalam urusan akhirat. Adapun yang dimaksud dengan ungkapan ihris (tamaklah) maknanya adalah tamaklah dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala.
Berdasarkan syarah yang dikemukakan oleh Imam An-Nawawi, Rasulullah Saw. mengabarkan kepada kita bahwa mu’min yang paling baik dan paling dicintai itu adalah seorang mu’min yang senantiasa memiliki tekad dan keseriusan dalam urusan akhirat.
Kemudian Rasulullah juga memerintahkan supaya kita bersikap tamak dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah SWT.
Namun Rasulullah Saw. juga mengingatkan supaya kita selalu memohon pertolongan kepada-Nya. Kenapa? karena tidak mungkin ketaatan-ketaatan itu terlaksana tanpa adanya pertolongan dari Allah SWT.
Demikianlah diantara ikhtiar yang dapat kita lakukan dalam upaya mewujudkan ketakwaan kepada Allah SWT.
Taqabalallahu mina wa minkum.
Editor: Diantika IE
Leave a Reply