Oleh Asep Syamsul M. Romli
Salah satu masalah besar umat Islam dalam konteks era informasi adalah tidak dimilikinya suatu media massa yang memadai untuk menyuarakan aspirasi Islam, memperjuangkan dan menegakkan nilai-nilai Islam, atau membela kepentingan agama dan umat Islam.
Sejak kemerdekaan Indonesia hingga kini, umat Islam Indonesia belum pernah mempunyai media Islam yang benar-benar menjadi “terompet” Islam.
Jika dibandingkan dengan zaman penjajahan, dari segi persuratkabaran kita sekarang jauh tertinggal. Zaman kolonial hampir di semua kota besar ada media Islam.
Di Medan ada Mingguan Pedoman Masyarakat, Al Manar, dan Medan Islam. Di Solo ada Mingguan Adil dan Islam Raya. Di Bandung ada Pembela Islam, Al-Lisan, dan Lasykar Islam.
Media Islam mengemban misi jurnalistik dakwah, yaitu pemberitaan bermuatan pesan dakwah atau ajakan menuju iman, takwa, dan penegakkan syariat Islam. Media Islam berisi informasi aktual dan penting tentang Islam dan kaum muslim.
Peran Media Islam
Setidaknya ada lima peranan jurnalis Muslim.
1. Sebagai Pendidik (Muaddib)
Muaddib yaitu melaksanakan fungsi edukasi yang Islami. Ia harus lebih menguasai ajaran Islam daru rata-rata khalayak pembaca.
Lewat media massa, ia mendidik umat Islam agar melaksanakan perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-Nya. Ia memikul tugas mulia untuk mencegah umat Islam dari berperilaku yang menyimpang dari syariat Islam, juga melindungi umat dari pengaruh buruk media massa non-Islami yang anti-Islam.
2. Sebagai Pelurus Informasi (Musaddid).
Setidaknya ada tiga hal yang harus diluruskan oleh para jurnalis Muslim. Pertama, informasi tentang ajaran dan umat Islam. Kedua, informasi tentang karya-karya atau prestasi umat Islam. Ketiga, lebih dari itu jurnalis Muslim dituntut mampu menggali –melakukan investigative reporting– tentang kondisi umat Islam di berbagai penjuru dunia.
Peran Musaddid terasa relevansi dan urgensinya mengingat informasi tentang Islam dan umatnya yang datang dari pers Barat biasanya biased (menyimpang, berat sebelah) dan distorsif, manipulatif, alias penuh rekayasa untuk memojokkan Islam yang tidak disukainya.
Di sini, jurnalis Muslim dituntut berusaha mengikis fobi Islam (Islamophobia) yang merupakan produk propaganda pers Barat yang anti-Islam.
3. Sebagai Pembaharu (Mujaddid)
Mujaddid yaitu penyebar paham pembaharuan akan pemahaman dan pengamalan ajaran Islam (reformisme Islam).
Jurnalis muslim hendaknya menjadi “jurubicara” para pembaharu, yang menyerukan umat Islam memegang teguh al-Quran dan as-Sunnah, memurnikan pemahaman tentang Islam dan pengamalannya (membersihkannya dari bid’ah, khurafat, tahayul, dan isme-isme asing non-Islami), dan menerapkannya dalam segala aspek kehidupan umat.
4. Sebagai Pemersatu (Muwahid)
Muwahid yaitu harus mampu menjadi jembatan yang mempersatukan umat Islam. Oleh karena itu, kode etik jurnalistik yang berupa impartiality (tidak memihak pada golongan tertentu dan menyajikan dua sisi dari setiap informasi [both side information] harus ditegakkan.
Jurnalis muslim di media Islam harus membuang jauh-jauh sikap sektarian yang baik secara ideal maupun komersial tidaklah menguntungkan.
Tak Mampu Bertahan
Banyak media Islam yang gugur di tengah jalan. Mereka tidak mampu bertahan lama. Mingguan Hikmah di Jakarta, Aliran Islam (Bandung), Al-Islam (Medan), Daulah Islamiyah (Jakarta), dan masih banyak lagi.
Menurut KHM Isa Anshary (1984:39), yang membunuh media Islam adalah umat Islam sendiri; para pembaca yang tidak mau membayar uang langganan dan para agen yang tidak setia menyetor ke penerbitnya.
Kejayaan pers Islam memang bergantung pada dua pihak: pengelola dan pembacanya, yakni umat Islam sendiri. Keduanya saling ketergantungan dan harus saling bantu.
Pengelola butuh dukungan umat Islam dengan menjadi pelanggan tetap dan turut menyebarluaskannya dengan menjadi agen. Umat Islam yang menjadi pelanggan juga butuh profesionalisme pengelola dan kepuasan membaca.
Ada juga pers Islam yang “dibunuh” oleh penerbitnya sendiri dengan alasan yang “mengada-ada”, padahal umat Islam relatif menyambut baik kehadirannya. Pers Islam dimaksud adalah Mingguan Hikmah (1993-2000), anak penerbitan Grup Pikiran Rakyat Bandung.
Kelemahan Media Islam
Pers Islam umumnya kalah unggul dan kalah pamor oleh pers umum. Banyak faktor yang mengakibatkan lemah dan terpinggirkannya pers Islam.
Dalam “diksusi” para pakar dalam buku Islam dan Era Informasi (Rusjdi Hamka & Rafik (Penyunting), Pustaka Panjimas Jakarta, 1989), berikut ini kelemahan media Islam:
1. Kurang atau lemahnya dukungan dana
Langka sekali kalangan aghniya (kaum kaya) atau investor muslim yang mau menanamkan modalnya, lillahi ta’ala, untuk penerbitan pers Islam.
Perhitungan mereka selalu materialis dan “hukum ekonomi” laba-rugi. Langka yang berpikiran “mengorbankan harta demi syi’ar Islam”, selangka keyakinan terhadap jaminan Allah SWT,
“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, maka (Allah) akan menolong kalian dan meneguhkan kedudukan kalian” (Q.S. 47:7).
Para ulama pun terkesan “tidak terpikirkan” untuk mengeluarkan “fatwa” wajibnya umat Islam menerbitkan media massa yang berskala luas (nasional) dan nonsektarian.
2. Lemahnya Manajemen
Kelemahan manajemen terjadi akibat kurang atau tidak profesionalnya para pengelola, sehingga (dari segi redaksional) gaya bahasa, teknik penulisan, pemilihan dan pemilahan topik, serta tampilan produk –termasuk perwajahan atau cover– kurang atau tidak menarik perhatian dan minat membaca orang.
Dari segi pemasaran, tenaga pemasar tidak agresif, hanya “menunggu bola”, dan “pelit” untuk mengeluarkan biaya promosi. Manajemen modern sangat memperhatikan promosi, bukan saja untuk menarik minat beli, melainkan juga membentuk citra positif serta menumbuhkan fanatisme dan kebanggaan (gengsi) konsumen.
3. Minat baca umat Islam
Masih lemahnya minat baca dan kesadaran informatif umat Islam akan masalah-masalah keislaman. Umat Islam masih lebih suka mendengar daripada membaca. Rendahnya kesadaran informatif berkaitan dengan tingkat pendidikan sehingga mempengaruhi tingkat kesadaran intelektualnya.
4. Sektarian, kurang atau tidak independen, dan eksklusif.
Sektarianisme secara ideal dan komersial tidak menguntungkan. Pers yang sektarian dan eksklusif hanya beredar dan diminati kalangan tertentu. Sifat demikian menjadi penyebab kurang luasnya penerimaan masyarakat Muslim.
Banyak pers Islam yang muncul untuk menyuarakan kepentingan atau “aliran pemahaman” kelompok tertentu. Panji Masyarakat, Suara Mesjid, dan Media Dakwah tampaknya menyuarakan “aspirasi” kelompok modernis.
Majalah Risalah adalah bacaan warga Persis. Suara Muhammadiyah jelas milik warga Muhammadiyah. Majalah Pesantren milik warga NU.
Media Islam yang eksklusif hanya beredar di kalangan terbatas dan tidak mampu menjangkau kalangan luas umat Islam, antara lain karena cenderung “menyuarakan aspirasi kelompok tertentu” dan masalah harga yang mahal.
Majalah Sabili (Jakarta) adalah bacaan eksklusif, mudah diterima kalangan kampus dan aktivis pergerakan Islam, namun sulit diterima kalangan awam. Demikian pula Majalah Al-Muslimun dan Tarbawi.
Majalah Percikan Iman (Bandung) cenderung “sektarian”, yakni “milik” jamaah Ustadz Aam Amirudin, Lc. serta visi, misi, dan isinya “Aam Centris”. Tabloid MQ (Bandung) pun demikian, yakni “milik” jamaah K.H. Abdullah Gymnastiar (Pesantren Daarut Tauhiid) serta visi, misi, dan isinya “Aa Gym Centris”.
Media Islam yang relatif nonsektarian dan independen adalah almarhum Mingguan Hikmah (Bandung, 1993-2000). Visi dan misi pemberitaannya hampir tanpa batas (meliputi fiqih, akhkal, sosial, ekonomi, politik), jajaran redaksinya memiliki heterogenitas latar belakang orsospol, dan tidak ada figur ataupun ormas Islam tertentu di belakangnya.
Sayangnya, Mingguan Islam ber-SIUPP satu-satunya di Indonesia itu (sebelum aturan SIUPP dihapuskan), harus “dicabut nyawanya” oleh the owner-nya sendiri dengan dalih tak jelas dan terkesan mengada-ada. Umat Islam tidak bisa berbuat apa-apa, diam tanpa daya.
Faktor 2, 3, dan 4 memperparah faktor 1 (kelemahan dukungan dana) karena menyebabkan pers Islam tidak laku, oplahnya kecil, sehingga para pengusaha tidak berminat memasang iklan meskipun konsumen atau pangsa pasar mereka dipastikan mayoritas umat Islam.
Iklan adalah salah satu sumber utama pendapatan (laba) sebuah media massa cetak di samping penjualan (sirkulasi).
Alternatif Solusi
Kita sudah mencoba mendiagnosis sehingga tahu akar masalah pers Islam sehingga terpuruk, yakni kelemahan dana, kelemahan manajemen, kelemahan kesadaran informatif (minat baca) umat Islam, dan sektarian. Dari kelemahan itu pula solusi dapat dicarikan.
1. Pendanaan
Soal kelemahan dana, sambil menunggu para kaum kaya Muslim menginvestasikan hartanya untuk pengembangan media massa Islam, sebenarnya yang dibutuhkan adalah manajer keuangan umat yang andal. Yakni manajer yang mampu mengelola dana umat berupa ZIS (Zakat Infak dan Sedekah) khususnya pos fi sabilillah.
Dana ZIS dapat diinvestasikan sebagai modal penerbitan sebuah media massa Islam. Karena dananya milik umat, media Islam yang diterbitkan dibagikan secara cuma-cuma bagi umat Islam atau dijual dengan harga sangat terjangkau.
Lewat media itu pula pihak BAZIS dapat secara transparan melaporkan posisi dana dan pemanfaatannya.
2. Manajemen
Soal kelemahan manajemen. Banyak manajer andal bidang jurnalistik yang tidak betah mengelola media Islam karena gajinya kecil. Maka, media Islam harus berani membayar mahal seorang manajer dan para pengelola sehingga nafkah hidupnya terjamin.
Bagi kalangan profesional, salary menjadi pegangan. Mereka akan all out bekerja jika imbalannya memadai. Ghirah Islami yang ada di dada mereka tentu akan menambah daya kreativitas dan semangat bekerjanya.
3. Minat baca
Minat baca akan terus meningkat seiring peningkatan tingkat pendidikan umat Islam. Sambil menunggu perkembangan, kalangan media Islam dapat melakukan survei tentang tulisan bagaimana yang paling digemari umat Islam khsusunya di tingkat akar rumput (grass root).
Jajaran redaksi dapat menampilkan figur-figur idola massa sebagai narasumber untuk menarik khalayak pembaca. Prinsipnya, jika media massa menampilkan bacaan menarik, bermutu, menghibur, singkatnya tulisan yang sesuai nilai-nilai jurnalistik, insya Allah dengan sendirinya minat baca umat akan muncul. Para ulama dan tokoh masyarakat perlu melakukan komunikasi sosial secara verbal agar umat mendukung media Islam.
4. Soal sektarianisme
Tinggalkan “penghambaan diri” kepada kepentingan kelompok (fanatisme golongan, hizbiyah) dan menggantinya dengan cara inklusif (terbuka). Materi tulisan atau rubrik bisa lebih bervariasi, demikian pula narasumber atau objek liputannya, sehingga pembaca bisa lebih banyak dan heterogen.
Tantangan Media Islam Era Internet
Tantangan media Islam di era internet tidak jauh berbeda dengan era sebelumnya, terutama soal dana dan profesionalisme SDM (manajemen dan wartawan).
Soal dana, dulu di era media cetak, terkendala mahalnya harga kertas, biaya cetak, dan ongkos kirim (distribusi/sirkulasi).
Kini, di era internet, kendala dana dari segi biaya produksi relatif tidak ada. Untuk membuat media Islam di internet (media online atau website Islam), hanya memerlukan biaya sewa domain dan hosting per tahun di kisaran 1-3 juta per tahun. Relatif murah.
Namun, dana operasional tampaknya masih jadi kendala. Media Islam memerlukan dana besar untuk mendirikan badan hukum PT (Perseroan Terbatas) yang menjadi salah satu syarat media pers resmi versi Dewan Pers.
Selain itu, dana besar juga dibutuhkan untuk biaya operasional, mulai dari maintenance website hingga gaji karyawan dan wartawan.
Membuat media Islam online sangat mudah dan relatif murah. Kendala utamanya ternyata masih “klasik”, yaitu minimnya dana atau minimnya investor yang mau investasi dunia-akhirat untuk sebuah media Islam. Wallahu a’lam bish-shawabi.
Sumber: Asep Syamsul M. Romli, Jurnalistik Dakwah: Visi dan Misi Da’wah Bil Qolam, Rosdakarya, Bandung, 2003.
Leave a Reply