Mudik ke kampung akhirat adalah keniscayaan yang harus ditempuh oleh semua manusia.
Sejak dulu, musim lebaran identik dengan tradisi mudik. Hampir di seluruh daerah terutama di pulau Jawa seluruh jalur transportasi baik jalan provinsi maupun daerah, dipenuhi kendaraan dengan tujuan penumpang ‘pulang ke kampung halaman’.
Namun, sepertinya pihak berwenang salah memprediksi. Menurut pemerintah, pemudik yang berjumlah 85 juta itu diprediksi mencapai puncaknya tanggal 28-29 April, pada kenyataannya tidak sesuai perkiraan. Fakta di lapangan, tanggal kemungkinan puncak kemacetan tersebut kendaraan di jalur mudik terutama di daerah Jawa Barat relatif lancar.
Justru hari kedua Syawal, atau H+2 Idul Fitri lah, volume pemudik yang turun ke jalan raya malah mengalami lonjakan yang dahsyat (terkhusus ke daerah Jabar selatan).
Perjalanan mudik ini memang fenomenal. Karena budaya mudik ini hanya ada di Indonesia. Di Amerika, contohnya, tidak ada budaya mudik. Jika ada budaya mudik, orang Menteng Raya Jakarta tiap tahun akan salaman dengan Barak Obama. He he.
Nah saking fenomenalnya, sampai seorang akademis Unpad, Prof. Dr. Indra Prawira mengusulkan supaya pemerintah membentuk “Dirjen Permudikan.”
Mudik yang seharusnya dapat memuaskan batin itu, ternyata banyak menyebabkan kengerian, kegetiran bahkan kesedihan dan kepedihan. Bukan hanya kecelakaan fisik tapi juga nyawa melayang sudah lumrah terjadi.
Jadi setiap tahun lebaran datang menjenguk, selalu saja membawa kisah suka dan duka. Kadang datang saat dirundung malang, diliputi penderitaan, dan diuji dengan berbagai kepedihan. Apalagi di tahun-tahun yang lalu warga dunia masih dihantui penyakit yang menyebabkan berbagai penderitaan. Dari penderitaan himpitan ekonomi sampai bergelimpangannya jutaan nyawa manusia meninggal.
Di lebaran ini, tidak sedikit ujian yang datang kepada pemudik. Meninggal saat masih di dalam bus, meninggal karena kecelakaan tunggal motor padahal hanya hitungan meter lagi sampai tujuan, ada pula yang meninggal karena kelelahan.
Namun di tahun ini ada juga di antara kita yang tidak bisa mudik ke kampung halaman karena tekanan ekonomi. Tidak mempunyai bekal untuk berbagi kepada sanak saudara adalah alasan yang paling mendasar dan bergumul dalam lubuk hati. Siapa yang bisa dipersalahkan ketika tradisi mudik memang identik dengan bagi-bagi rejeki. Apalagi para perantau yang meninggalkan kampung halaman ke tempat yang jauh. Daripada harus menanggung malu, akhirnya memutuskan untuk tidak mudik.
Namun, pada suatu saat nanti, punya bekal atau tidak, manusia tetap harus melaksanakan mudik akbar ke Kampung Akhirat. Harus kembali kepada Allah Swt.
Mungkin nanti ketika mudik ke hadapan Allah Swt. yang kita cintai, ke kampung halaman yang abadi, kita akan membawa beban dosa di atas punggung kita. Segala amal dibawa untuk kemudian diperiksa dalam timbangan keadilan Tuhan, “Inna ilaina iyabahum, tsumma inna Âalaina hisâbahum.”
Pada saatnya nanti, punya bekal ataupun tidak, kita akan menempuh perjalanan panjang nan mengerikan.
Saat lebaran beberapa hari lalu, pembaca mungkin mengingat-ngingat orang yang paling berjasa dalam hidup Anda. Memeriksa orang-orang terdekat yang di cintai; ibu, ayah, kakak/adik, istri/suami, sahabat, kekasih, tetangga dan handai taulan. Mungkin ada di antara mereka yang tidak bisa berkumpul lebaran bersama. Mungkin ada di antara mereka yang tidak ikut memersiapkan lebaran bersama kita. Tidak ikut menggemakan takbir, tahmid dan tahlil bersama.
Mereka tidak ikut ke lapang untuk melaksanakan salat Idul Fitri karena semuanya telah mendahului kita setahun, beberapa bulan, beberapa pekan, bahkan beberapa hari yang lalu. Mereka lebih dulu “mudik” ke kampung halaman abadi, yaitu Kampung Akhirat.
Padahal tahun lalu mereka masih senda gurau dengan kita. Mereka masih kumpul, menyiapkan idul fitri dan saling bersalaman sambil berpelukan.
Ya Allah hari ini kami yang mengenang mereka, besok hari mungkin kita yang ditangisi dan dikenang. Setiap hari, maut mengepakkan sayapnya di atas kepala kita.
Semoga Engkau ya Allah, berkenan memasukkan rasa kebahagiaannya di alam kubur serta berkenan mengampuni atas khilaf serta salahnya ketika di dunia. Aamiin.
“Assalâmua’alaikum ya ahl ad-diyâr minal Muslimîn wal mu minin wa inna insya Allâhu bikumu lâhiqûn. Nasalullaha lana walakumul “afiyah”. Aamiin.
Pesan dari tulisan ini adalah, jangan sampai kita hanya bisa kerja keras banting tulang menabung biaya mudik lebaran ke kampung halaman. Sementara tidak pernah terpikir bahwa kita harus berusaha keras untuk bekal mudik ke tempat asal kita; akhirat, yang perjalanannya bukan untuk beberapa hari. Perjalanan yang teramat jauh dan panjang, yang satu harinya sama dengan seribu tahun pada hitungan kita sekarang.
Berapa banyak di antara kita yang membanting tulang untuk persiapan masa pensiun yang hanya beberapa tahun? Akan tetapi lupa untuk memersiapkan masa ribuan tahun setelah ajal menjemput kita.
Menurut beberapa keterangan shahih, ternyata hanya bekal Taqwa lah bekal terbaik kepulangan kita.
Wallahu ‘alam bi asshawab.
Ditulis oleh Nurdin Qusyaeri, M.Si.
Dari “Ujung Dunia” Kampung Cipeundeuy, Sukamaju Sukamulya Pakenjeng Garut Selatan, 5 Mei 2022.
Leave a Reply