TIGA BEKAL PERJUANGAN
Oleh : Iim Ibrohim
Ketua Yayasan Mutiara Embun Pagi,
dan Dosen FAI Universitas Muhammadiyah Bandung
Bismillahir rahmanir rahim.
Mengawali harinya, rasulullah saw terbiasa membaca salahsatu doa. Pun ikhwatu iman terbiasa pula dengan itu. Doa tersebut ialah sebagai berikut;
اَللّٰهُمَّ اِنِّي اَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا، وَرِزْقًا طَيِّبًا، وَعَمَلًا مُتَقَبَّلاً
Ya Allah, aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rizki yang baik, dan amalan yang diterima (Hr. Ibnu Majjah, no. hadits 925).
Dari doa tersbut, nampak 3 hal yang secara konsisten dipanjatkan rasulullah saw. kepada Allah SWT. Pertama ilmu yang bermanfaat, kedua rizki yang baik, dan ketiga amalan yang diterima. Hal tersebut sangatlah wajar, ketiga permohonan itu sebagai bekal dalam mengarungi perjuangan. Melalui ilmu, kita dapat mengetahui mana yang benar, dan mana yang salah. Mana yang baik, dan mana yang buruk. Bahkan dengan illmu, kita ditunjukkan arah yang harus tempuh. Peribahasa Arab menyebutkan, al ilmu nurun, wal jahlu dharun. Ilmu itu cahaya, dan bodoh itu berbahaya.
Selanjutnya, dengan rizki yang baik, tubuh kita akan diisi nutrisi baik. Setiap amalan kita dibiayai dengan yang baik. Dengan rizki yang baik pula, akan terlahir generasi yang pastinya baik-baik. Demikian juga dengan permohonan amalan yang diterima. Apalah arti berbagai perjuangan yang selama ini kita lakukan, jika semua itu tidak diterima oleh sang Penerima amalan. Semuanya hanya akan menjadi sia-sia. Untuk diterima amal, maka kepala kita harus diisi ilmu yang bermanfaat, dan tubuh kita, diisi dengan rizki yang baik.
Ikhwatu iman rahima kumullah, bekal pertama rasulullah saw dalam berdakwah rupanya ilmu yang bermanfaat. Berbicara ilmu, para ahli melakukan pembagian. Sebut saja Imam al Ghazali, membagi ilmu pada 2 macam, pertama ilmu fardhu ain, seperti ilmu tentang salat, puasa, bersuci dll, dan kedua fardhu kifayah, seperti ilmu kedokteran, astronomi, pertanian dan sejenisnya. Selain itu, imam al Ghazali membagi ilmu kedalam ilmu syar’iyah dan ghair syar’iyah. Semua ilmu syariyyah, baik yang masuk kategori 1) pokok (ushul) seperti al quran, sunnah, ijma ulama dan atsar shahabi, 2) cabang (furu) seperti fiqih, 3) pengantar (muqaddimat) seperti bahasa, dan 4) pelengkap (mutammimat) seperti makharijul khuruf dan qiraat, semuanya bersifat terpuji. Berbeda dengan ilmu ghair syar’iyyah, ada yang sifatnya a) terpuji (mahmudah) seperti kedokteran, pertanian dan teknologi, b) diperbolehkan (al mubahah) seperti sejarah dan sastra, dan c) tercela (al mazmumah) seperti sihir, astrologi dan filsafat.
Ibnu Khaldun membagi ilmu menjadi 2, pertama ilmu naqliyyah, yaitu ilmu yang bersumber dari al quran dan al Sunnah seperti ilmu tafsir, qiraah, hadits, ushul fiqih, dan sejenisnya. dan kedua ilmu aqliyyah yang bersumber dari aqal, seperti ilmu mantiq, alam, metafisik, ilmu hitung dll. Al Farabi mengelompokkan ilmu kedalam 5 macam, pertama ilmu bahasa seperti (nahwu, sharaf dan sejenisnya), kedua logika seperti (pengertian, manfaat dan silogisme), ketiga propadetis (ilmu hitung yang mencakup geometri, optika, astronomi, astrologi, music dll), keempat ilmu fisika dan matematika, dan kelima ilmu sosial, hukum dan kalam.
Ibnu bathlan membagi illmu menjadi 3, pertama ilmu keagamaan, kedua filsafat, dan ketiga ilmu alam. Konferensi Dunia tentang pendidikan Islam 1980 (di Pakistan), membagi menjadi dua ilmu, pertama perennial (abadi) (naqliyah), dan kedua acquired (temuan), aqliyah. Terakhir Nurkhalis Majid membagi menjadi 4, pertama ilmu fiqih, kedua tasauf, ketiga kalam dan keempat falsafah.
Jika disimpulkan, ilmu-ilmu yang dibagi para ilmuan muslim tersebut, maka ilmu Islam itu mencakup urusan duniawi dan ukhrawi. Allah SWT sebagai Dzat yang mengamanahkan kepada ummat manusia menjadi khalifah fil ardh, serta saat kembali kepada-Nya berada dalam keridhaan-Nya, membekalinya dengan ilmu. Oleh karena itu, sangatlah wajar jika kita memohon kepada Allah SWT. agar dianugerahi ilmu bermanfaat, karena dengan ilmu kita akan tahu arah yang harus ditempuh.
Bekal kedua ialah rizki yang baik. Dinamakan baik tentu saja harus dimulai dari cara mendapatkannya, yaitu dengan cara yang halal. Rasulullah saw pernah bersabda;
عَنْ أَبِيْ عَبْدِ اللهِ النُّعْمَانِ بْنِ بِشِيْر رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: (إِنَّ الحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاس، فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدِ اسْتَبْرأَ لِدِيْنِهِ وعِرْضِهِ، وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِيْ الحَرَامِ كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ الحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَقَعَ فِيْهِ. أَلاَ وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمَىً. أَلا وَإِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ، أَلاَ وإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الجَسَدُ كُلُّهُ وإذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، أَلاَ وَهيَ اْلقَلْبُ (رَوَاهُ اْلبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ).
Dari Abu ‘Abdillah Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ”Sesungguhnya perkara yang halal itu telah jelas dan perkara yang haram itu telah jelas. Dan di antara keduanya terdapat perkara-perkara yang (samar), tidak diketahui oleh mayoritas manusia. Barang siapa yang menjaga diri dari perkara-perkara samar tersebut, maka dia telah menjaga kesucian agama dan kehormatannya. Barang siapa terjatuh ke dalam perkara syubhat, maka dia telah terjatuh kepada perkara haram, seperti seorang penggembala yang menggembalakan ternaknya di sekitar daerah larangan (hima), dikhawatirkan dia akan masuk ke dalamnya. Ketahuilah, bahwa setiap raja itu mempunyai hima, ketahuilah bahwa hima Allah subhanahu wa ta’ala adalah segala yang Allah subhanahu wa ta’ala haramkan. Ketahuilah bahwa dalam tubuh manusia terdapat sepotong daging. Apabila daging tersebut baik maka baik pula seluruh tubuhnya dan apabila daging tersebut rusak maka rusak pula seluruh tubuhnya. Ketahuilah segumpal daging tersebut adalah kalbu (hati). [HR. Al-Bukhari dan Muslim].
Menjemput rizki dilakukan dengan beraneka cara. Setiap orang melakukan dengan keterampilannya masing-masing. Sebagian meraihnya dengan cara ideal dan penuh kehati-hatian, sebagian lagi memilih cara pragmatis. Di Indonesia khususnya, mencari rizki dilakukan bukan hanya oleh kaum Adam, melainkan kaum Hawa. Terlebih sulitnya memperoleh suatu pekerjaan, dan kebutuhan yang semakin meningkat. Dengan perkembangan zaman pula, cara yang dilakukan lebih bervariasi. Banyak yang juga yang melakukan cara online. Semua itu tentu membutuhkan banyak kajian dan batasan, agar kehalalan rizki yang akan diperoleh akan lebih menentramkan.
Bekal ketiga ialah amalan yang diterima. Untuk dapat diterima suatu amalan, terdapat beberapa syarat, di antaranya pertama dilandasi keimanan, kedua niat yang lurus, ketiga sesuai dengan contoh rasulullah, keempat dilakukan secara ikhlas, dan kelima berdampak sosial. Rasulullah saw bersabda;
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang Telah mereka kerjakan. (Q. al Nahl ; 97).
Syarat kedua ialah niat. Tanpa niat yang tulus, maka amalan yang dilakukan hanya akan mendapatkan sesuatu yang kecil saja . Rasulullah saw bersabda;
عَنْ أَمِيرِ المُؤمِنينَ أَبي حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ رَضيَ اللهُ عنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: ( إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا، أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا، فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ (رواه البخاري).
Dari Amirul Mukminin Abu Hafsh Umar bin Al Khaththab adia berkata: ‘Aku mendengar Rasulullah shalallahu alaihi wasalam bersabda: “Amalan-amalan itu hanyalah tergantung pada niatnya. Dan setiap orang itu hanyalah akan dibalas berdasarkan apa yang ia niatkan. Maka barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya keapda Allah dan Rasul-Nya. Namun barang siapa yang hijrahnya untuk mendapatkan dunia atau seorang wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya kepada apa yang ia niatkan tersebut.”.
Syarat ketiga yaitu sesuai dengan yang dicontohkan, dalam hal ini rasulullah saw bersamba;
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ، أَوْ مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.
“Barangsiapa yang mengada-adakan dalam perkara (agama) kami ini apa yang bukan termasuk darinya, maka ia tertolak, atau barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak kami perintahkan, maka ia tertolak,” maka hadits ini menunjukkan dengan manthuq (teks) dan mafhum (konteks)nya. (Hr. Muslim).
banyak ayat al quran yang memerintahkan kita berlaku ikhlas, salah satunya terdapat dalam al quran sebagai berikut;
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.” (Q.S al Bayyinah; 5).
Terakhir, ibadah yang kita lakukan mesti berdampak sosial. Tidak elok, jika seseorang yang ruku dan sujud dengan cukup lama kepada Allah, tetapi selesai shalat ia berlaku sewenang-wenang kepada orang lain. Puasa full 1 bulan lamanya bahkan ditambah dengan yang Sunnah, tetapi masih tidak peduli dengan orang-orang yang kelaparan dan kesulitan. Ibadah Haji dan mengulang-ulang pergi berumrah yang penuh pengorbanan baik harta maupun jiwa, tetapi sepulang dari ibadah ia tidak peka pada masalah-masalah yang dirasakan orang sekitar baik yang ditemuinya. Allah SWT. berpesan;
“Kami Telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami Telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (QS. Al Zuhruf; 32)
Wallahu a’lam.
Ibun, 1 Mei 2021
Penulis
Leave a Reply